Merlin’s Magic

Tak ada keraguan, kecendrungan dan perilaku kita sebagiannya dibentuk oleh pengaruh lingkungan dimana kita berada. Itulah alasannya: saya memiliki ketertarikan besar akan buku – buku karena keluarga saya lebih dari sekedar pembaca buku; para pencinta buku ini menyimpan segudang buku. Saya masih berusia 12 tahun ketika menemukan buku ditempatkan di sepenjuru sudut rumah.

Apanya yang menarik? Didorong oleh rasa penasaran, saya memulai buku pertama saya, waktu itu, tentang sejarah. Saya mulai membolak balik halamannya dan mendapati buku tersebut cukup menarik karena banyak gambar yang bagus di dalamnya. Saya mulai membaca, tapi tak lebih dari 30 menit saya dibantai habis oleh kebosanan. Hmmh.. membaca bukanlah hal yang menyenangkan bagi seorang pemula waktu itu. Saya meletakannya begitu saja dan mencoba melupakannya. Dan lagi-lagi: apanya yang menarik bagi orang lain? Buku itu kembali menggoda saya: jika dia (buku tersebut) memang benar-benar makhluk yang menarik, sehingga orang rela membacanya berulang-ulang dan menyimpannya dengan perawatan hati-hati, pastinya ada sesuatu disana. Entah menceritakan misteri atau bahkan sedang mengajarkan sihir Merlin atau entah apalah. Lagi saya memungutnya dan mulai membacanya perlahan-lahan. Tak ada hal penting lain apapun pada waktu itu, hari dimana saya memulai buku pertama saya, terkecuali hasrat menggebu-gebu untuk dapat menyerap sihir Merlin yang ada di dalam buku tersebut. Saya membaca sambil duduk, sambil rebahan, sambil makan, sambil minum teh dan bahkan ketika berada di toilet. Beberapa jam kemudian buku selesai saya baca. Begitu saja? Mana sihir Merlin-nya? Saya merasa dibodohi setelah berjam-jam menghabiskan waktu bersama sang buku.

Hingga suatu hari, di sebuah hari yang biasa, dad’s colleagues berkumpul di rumah. Sebuah kelompok “yang membicarakan banyak hal membingungkan” – saya mengistilahkannya begitu waktu itu – berkumpul untuk membakar tembakau dan minum kopi. Topik pembicaran benar-benar membingungkan saya, namun saya berkenan hadir di sana setiap kali itu terjadi untuk mengamati. Saya senang mengamati: setiap wajah dengan nama-namanya, perilakunya, karakteristik khususnya, gaya bicaranya, baju yang mereka kenakan dan tembakau yang mereka bawa.

Bincang-bincang hal yang membingungkan dilakukan seperti biasa. Dan walaupun buku pertama saya benar-benar mengecewakan saya, namun saya mengingat apa yang di baca, hanya tak paham saja. Dan sebuah “wow” hadir beberapa saat kemudian; saya tercenung: ini kan yang saya baca kemarin! Saya kemudian dibuat kagum dan sedikit paham tentang apa yang dibicarakan, dan ditarik ke dalamnya. Hari itu saya mengabaikan asap yang keluar dari tembakau-tembakau, dan sepenuhnya memberi perhatian atas apa yang sedang dibicarakan. Di akhir kunjungan beberap tamu memanggil saya: hey young man, come here! I like to tell you something! Mereka mengajarkan beberapa hal kepada saya:

“Dengan buku, kita membaca tentang data sejarah manusia yang tersebar di sejumlah buku atau catatan. Bahkan saat Anda membaca sebuah novel, Anda tidak sedang membaca drama, asmara, horor, epik atau thriller. Anda belajar tentang cara berpikir manusia, perilaku mereka, budaya mereka dan strategi mereka untuk menghadapi situasi. Semakin kita membaca buku semakin kita mendapatkan ilmu. Hal ini memungkinkan Anda untuk memahami suatu kejadian secara sistematis dan utuh untuk merekonstruksi skenario dan strategi”.

Saya mengambil kembali sihir Merlin yang telah memperlakukan saya dengan kebosanan dan kekonyolan. Saya membacanya lagi dan lagi untuk memahaminya dengan saksama. Saya menjadi pembaca sejak saat itu dan memahami bahwa akan selalu ada sekelompok orang yang menjadi pencinta buku, gemar mebacanya dan menyimpannya begitu hati-hati.

Tinggalkan komentar